Rabu, 20 Juli 2011, pukul 11.00 WIB, di Kedai Kebun Forum.
Presenter: Ade Darmawan and Agung Hujatnikajennong. Moderator: David Teh.
Ade Darmawan
Dalam sejarah seni video di Indonesia, “pusat” tidak banyak berperan. Inisiatif-inisiatif muncul secara menyebar. Setelah 1998, inisiatif-inisiatif ini banyak bergerak ke arah kelembagaan. Iniasiatif dalam bentuk institusi-institusi kecil ini memiliki peranan penting dalam penulisan sejarah seni video di Indonesia. Institusi-institusi ini dianggap dapat memberikan alternatif narasi mengenai sejarah seni video di Indonesia. Praktik penggunaan video dalam konteks seni, juga banyak terkait dengan praktik video di ranah masyarakat.
Agung Hujatnikajennong
Kemunculan pertanyaan “apakah ada sejarah seni video di Indonesia” diduga, salah satunya, akibat pola komunikasi mengenai sejarah yang dikembangkan oleh rezim Orde Baru. Sejarah selalu berada dalam posisi yang diragukan. Hal ini juga didorong oleh minimnya infrastruktur yang melakukan pendokumentasian.
Dari perspektif techno-culture, Agung melihat ada dua kecenderungan dalam produksi seni video di Indonesia: Yang Kritis dan Afirmatif. Secara generasional, yang kritis lahir pada 1990an oleh seniman generasi tersebut, seperti Krisna Murti (Learning to Queue up to the Ants) dan Heri Dono (gamelan of Non-communication).
Sedangkan kecenderungan yang kedua, merujuk pada tulisan Ronny Agustinus, video setelah 1998 menjadi populer karena ada kebebasan informasi yang berpengaruh pada merebaknya TV lokal, dan mahalnya harga seluloid. Dalam OK Video ini terbaca dari jumlah video yang masuk, dari pembuat video amatir, pembuat video klip sampai seniman mengirimkan karyanya. Jika teknologi pada generasi sebelumnya dipandang secara berjarak, yang selanjutnya lebih dekat dengan perangkat teknologi sebelumnya.